MenPAN-RB: KASUS RISMA BUKAN PIDANA, APARAT MAIN POLITIK SEGERA DITINDAK

Senin, 26 Oktober 20150 komentar

JAKARTA - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Yuddy Chrisnandi mengatakan, persoalan yang terjadi dengan Tri Rismaharini merupakan masalah administratif kebijakan sewaktu menjabat sebagai alikota Surabaya. Peristiwa yang juga sering dialami oleh pejabat pemerintahan itu bukanlah kasus tindak pidana.

"Masalah Risma adalah persoalan administratif kebijakan, bukan pidana. Permasalahan seperti ini memang tidak hanya Bu Risma saja yang mengalami, namun pejabat daerah lainnya juga ada," ujar Menteri menanggapi pemberitaan di sejumlah media massa menyangkut kasus Risma, di Jakarta, Jumat (23/10).

Dikatakan, selama ini banyak kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang diduga menyimpang sering kali langsung dianggap sebagai kasus pidana. Padahal, kasus tersebut tidak semuanya pidana, tetapi administratif. Karena itu, menurut Yuddy, seharusnya kasus ini ditangani oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) atau Inspektorat, bukan aparat penegak keopolisian atau kejaksaan.

Pernyataan Yuddy itu mengacu pada Undang-undang No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Undang-undang No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pelanggaran bersifat administratif diselesaikan harus di ranah administratif, bukan dipidanakan.



Yuddy menambahkan, Presiden Joko Widodo sudah menginstruksikan aparat penegak hukum untuk menunda pemeriksaan pejabat, terutama calon kepala daerah/wakil kepala daerah di daerah yang menggelar pemilihan kepala daerah, sampai pilkada usai. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya politisasi hukum atau kriminalisasi politik.

"Kalau ada oknum aparat yang sengaja bermain politik dalam kasus Risma atau sejenisnya akan segera ditindak. Bahkan perlu dicopot dari jabatannya sebagai konsekuensi ketidakpatuhan atas Instruksi Presiden," kata Yuddy.

Pekan lalu, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur telah mengumumkan menerima surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) terhadap Risma yang dijerat dengan Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan kewenangan dalam pembangunan penampungan sementara pedagang di Pasar Turi.

Peran APIP

Deputi Bidang Kelembagaan dan Tata Laksana Kemenetrian PANRB Rini Widyantini mengatakan, pemeriksaan dugaan pelanggaran bersifat administratif dilakukan sepenuhnya oleh APIP, dimana personilnya adalah dari inspektorat. Nanti, saat pemeriksaan usai dan ditemukan indikasi pelanggaran pidana, inspektorat baru menyerahkannya kepada aparat penegak hukum.

Rini mengimbuhkan, jika terdapat pengaduan pejabat pemerintahan dari masyarakat masuk ke aparat penegak hukum, harus terlebih dulu berkoordinasi dengan inspektorat. Jika dari hasil koordinasi dugaan pelanggaranan bersifat administratif, pemeriksaan selanjutnya dilakukan inspektorat. Namun jika ditemukan pelanggaran yang bersifat pidana, baru diserahkan ke aparat penegak hukum. "Jadi tidak bisa pejabat langsung dipidanakan. Ada mekanismenya sebelum masuk ke pidana," ujar Rini.

PT. Gala Bumi Perkasa (GBP), selaku pihak yang melaporkan Risma saat masih menjabat Walikota Surabaya dalam kasus pengelolaan Pasar Turi, memutuskan mencabut laporan tersebut. Mereka tidak ingin dikaitkan sebagai pihak yang ingin menjatuhkan sosok Risma. Karena kasus ini mencuat pada masa kampanye, jadi terkesan berbau politis.

"Kasus ini menjadi sangat politis karena muncul pada saat masa kampanye dan kami tidak mau disangkutkan," kata anggota staf Humas PT GBP, Adhy Samsetyo. Ia berencana mendatangi Polda Jawa Timur untuk mencabut laporan pada Senin (26/10).

Adhy, atas nama GBP, melaporkan Risma pada 21 Mei 2015. Risma dituding sebagai pihak yang menghambat pembangunan Pasar Turi dengan membiarkan ada tempat penampungan sementara (TPS) untuk para pedagang di luar gedung yang baru sehingga tampak kumuh.

Pekan lalu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Timur Komisaris Besar Wibowo mengatakan, laporan itu kemudian ditingkatkan menjadi penyidikan pada 28 Mei 2015. Risma juga pernah diperiksa pada 17 Juni 2015 sebagai terduga.

Kasus tersebut terus bergulir dan polisi mengadakan gelar perkara pada 25 September 2015 yang menunjukkan belum cukup bukti. Namun, polisi tetap mengirimkan SPDP pada 29 September 2015, sehari setelah Risma melepas jabatan sebagai Walikota karena maju dalam pilkada.

Wibowo mengatakan, pihaknya baru akan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Hal ini yang membuat Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Andik M Taufik belum menerima tembusan SP3 dari Polda Jawa Timur tersebut.

Sumber: menpan.go.id
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Usman Jayadi | Template Blog | Admin Template
Copyright © 2015. Info Kementerian & Lembaga Pemerintahan - All Rights Reserved
Kontak Iklan Hubungi: 081238426727 Email: ujayadi@gmail.com | |
Didukung oleh Blogger